Bagian 2: Perjumpaan-Perjumpaan yang Lain

Arif Hukmi
3 min readOct 9, 2021
Perjumpaan pertama kami setelah sungguh begitu banyak tautan yang kami masuki bersama di ruang virtual

Mengapa langit senang mengubah warnanya, sementara kenangan tak bisa mengubah warnanya?

Di Hadapan Mata Jendela — Aan Mansyur

Kita semua barangkali punya imaji kolektif perihal bagaimana pada akhirnya nanti kita membangun keakraban, saat awal perjumpaan kita pada pertemuan-pertemuan virtual, kita semua punya keresahan yang sama, kegelisahan yang sama, namun, pada akhirnya stereotipe seperti itu pada akhirnya digugurkan oleh banyak interaksi yang hangat, oleh apa-apa yang kita lalui. Stereotipe yang saya maksud adalah ketakutan akan kehangatan yang sama, kehangatan yang sama-sama kita imajinasikan.

Kita semua lepas dari identitas diri masing-masing, entah sebagai apapun di luar sana; sebagai ASN, sebagai jurnalis, sebagai penyair, sebagai guru, sebagai asisten dosen, sebagai ustad, atau apapun yang melekat pada diri kita. Agar tentu saja, kita semua pada ruang kelas begitu cair dalam hal apapun, kita semua sama-sama berada pada ruang yang sama.

Hal ini tentu agar tidak ada rasa superior pada diri kita, tidak ada keangkuhan, lalu berimplikasi pada meremehkan orang lain, meski hal tersebut rasa-rasanya masih ada pada diri kita; manusia.

Perjumpaan pada sebuah rumah makan, pada buka puasa bersama pada 10 ramadan 1442 Hijriah

Saya acapkali berusaha menciptakan suasana yang cair dalam interaksi di grup-grup kelas ataupun saat berjumpa, dengan berbagai metode, yang paling sering adalah dengan mengeluarkan jokes-jokes yang tidak menyingung apapun yang subtansial pada kita semua. Kadang-kadang, mesti memang berprilaku dinamis pada berbagai ruang — menjadi egaliter, tetapi, tetap menjadi diri kita sendiri, tentu saja, meski banyak yang ingin menjadi orang lain, ketika diterpa siut angin, ia berubah arah. Pada kebanyakan orang tidak menjadi dirinya sendiri.

Perihal apapun yang ingin kami tempuh, sebisa mungkin kami mendiskusikan dengan kawan yang lain, bagaimana metode lain agar anak-anak bisa lebih akrab dan tentu saja dengan suasana yang berbeda dari biasanya, yang santai dan akan lekang oleh ingatan. Hingga pada akhirnya, ketika misalkan ada rencana yang tiba-tiba ataukah momentum yang ingin dirayakan, kita bisa mendiskusikanya dengan santai, kupikir ini adalah bagian dari pola komunikasi yang melihat karakter atau konteks untuk mencairkan suasana.

Pola komunikasi tersebut tentu saja berbeda, paling tidak pada diri saya untuk berinteraksi pada grup atau orang lain, kecuali orang yang paling dekat pada diri, saya kerapkali menjadi anak kecil yang lugu di hadapannya. Tetapi, hal ini tak perlu lebih dalam tertulis di sini.

Intan dan Wida sedang membaca sajak Jokpin dalam Buku Latihan Tidur, yang sengaja kubawa, dengan suatu kebutulan yang lain, kedua anak ini pernah mengkaji puisi Kamus Kecil yang terdapat pada buku ini, sembari menunggu kawan yang lain untuk berbuka bersama pada 10 ramadan 1442 Hijriah. Sengaja nama Intan kupertebal d sini. Saya tahu pertanyaan mengapa akan keluar dari dalam diri kalian yang membaca.

Jika kita lahir sebagai pohon-pohon yang meneduhkan suasana, meneduhkan orang-orang yang sedang jatuh cinta, meneduhkan sepasang lansia yang berbincang hangat perihal masa muda mereka atau sebagai kata-kata yang tak pernah dikenal dan asing di telinga. Pada bagian mana akhirnya kita dapat berhenti untuk melangkah atau sekadar melanjutkan perjalanan ini?

Apa yang akan kita kenang dari perjumpaan ini? kenangan tak pernah bertanya akan sampai di mana akhirnya perjumpaan ini. Siapa yang hendak pulang dan selesai lebih dulu dengan dirinya. Apakah kita cukup waktu untuk menghabiskan segala waktu yang tersisa?

Dan tibalah kita pada akhir-akhir perjumpaan, sebab hidup adalah perihal berpindah ruang, ke ruang yang lain. Pada satu dan dua peluk. Pada satu perayaan dan begitu banyak perayaan lain. Pada satu pertanyaan ke pertanyaan lain.

--

--

Arif Hukmi
Arif Hukmi

Written by Arif Hukmi

we have tomorrow for a reason.

No responses yet